Senin, 07 Desember 2009

AL-QUR'AN DAN KEBEBASAN BERPIKIR (Artkel Islam)



(Ketika semua orang memaksakan kebenaran menurut akalnya, maka Al-Qur’an justru membebaskan akal untuk membuktikan kebenaran yang sesungguhnya)




Al-Qur'an menyeru manusia untuk merenungkan kerajaan langit dan bumi serta semua keajaiban dan rahasia ciptaan Allah dalam hidup ini. Menyeru mereka untuk merenungkan semua ini agar mencapai kesimpulan yang tidak ada keraguan lagi di dalamnya "bahwa suatu karya mengharuskan adanya pencipta, suatu jejak pasti pelakunya. Oleh karena itu alam ini pasti memiliki Tuhan yang wajib adanya."
Coba kita simak firman Allah SWT berikut ini, "Maka apakah mereka tidak melihat akan langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami meninggikannya dan menghiasinya dan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikitpun. Dan Kami hamparkan bumi itu dan Kami letakkan padanya gunung-gunung yang kokoh dan Kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah dipandang mata, untuk menjadi pelajaran dan peringatan bagi tiap-tiap hamba yang kembali (mengingat Allah)." (QS. Qaaf : 6-8)
Jika kita menelaah kenyataan-kenyataan dan bukti-bukti ini, tentu kita akan mengetahui siapa Tuhan yang harus disembah, maha pencipta dan pemberi rezeki? Siapa perencana, penggambar, pengatur dan penguasa?
Allah telah mengingatkan kita dalam kisah Ibrahim AS, akan contoh-contoh yang hidup, yang menunjukkan kepada kita bagaimana cara berpikir yang sehat, dan bagaimana seorang mukmin memberikan penalaran yang sehat kepada orang-orang kafir dengan menggunakan sarana-sarana yang kongkrit dan dalil-dalil empiris.
Sebagaimana diceritakan dalam Al-Qur'an, Ibrahim pernah menghancurkan patung-patung berhala sembahan orang-orang kafir. Patung yang paling besar sengaja tidak dirusak oleh Ibrahim. "Siapa yang melakukan terhadap tuhan-tuhan kita ini," seru Raja Namrud marah. "Kami mendengar seorang anak muda yang menghancurkan tuhan-tuhan kita itu. Namanya Ibrahim," kata salah seorang pengikut Namrud.
Ibrahim lantas dipanggil, "Apakah kamu yang melakukan ini terhadap tuhan-tuhan kami, wahai Ibrahim?," tanya Namrud. "Yang melakukan yang besar ini (Ibrahim menunjuk patung terbesar yang sengaja tidak dirusaknya). Cobalah tanya kepada dia," Ibrahim menjawab.
Terang saja patung itu tidak menjawab. Ibrahim berkata, " Apakah kalian akan menyembah patung yang tidak dapat mendatangkan manfaat sedikitpun pada kalian dan juga tidak dapat mendatangkan mudharat. Celaka bagi kalian dan apa yang kalian sembah selain Allah. Apakah kalian tidak menggunakan akal untuk tahu?"
Allah mencela pada setiap orang yang tidak menggunakan akalnya untuk mencapai hakikat kebenaran. Allah juga mengecam kepada orang-orang taklid, yaitu orang-orang yang tidak menghargai nikmat akalnya, sehingga mereka tidak mau memikirkan tentang kekuasaan Tuhan yang dapat mendatangkan manfaat dan menolak kemudharatan. Sebaliknya mereka berjalan di belakang kerusakan dan kemaksiatan yang mereka warisi dari nenek moyang mereka.
"Dan apabila dikatakan kepada mereka:"Ikutilah apa yang diturunkan Allah".Mereka menjawab:"(Tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya".Dan apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun syaitan itu menyeru mereka ke dalam siksa api yang menyala-nyala (neraka)?" (QS. Luqman: 21)
Allah pun tiak main-main menanggapi orang-orang musyrik itu. Firman-Nya:
"Katakanlah:"Segala puji bagi Allah dan kesejahteraan atas hamba-hamba-Nya yang dipilih-Nya.Apakah Allah yang lebih baik, ataukah apa yang mereka persekutukan dengan Dia?" Atau siapakah yang telah menciptakan langit dan bumi dan yang menurunkan air untukmu dari langit, lalu kami tumbuhkan dengan air itu kebun-kebun yang berpemandangan indah, yang kamu sekali-kali tidak mampu menumbuhkan pohon-pohonnya . Apakah di samping Allah ada ilah (yang lain)? Bahkan (sebenarnya) mereka adalah orang-orang yang menyimpang (dari kebenaran). Atau siapakah yang telah menjadikan bumi sebagai tempat berdiam, dan yang menjadikan sungai-sungai di celah-celahnya, dan yang menjadikan gunung-gunung (mengkokohkan)nya dan menjadikan suatu pemisah antara dua laut? Apakah di samping Allah ada ilah (yang lain)? Bahkan (sebenarnya) kebanyakan dari mereka tidak mengetahui. Atau siapakah yang memperkenankan (do'a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo'a kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi?Apakah di samping Allah ada ilah (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati(Nya). Atau siapakah yang memimpin kamu dalam kegelapan di daratan dan lautan dan siapa (pula)kah yang mendatangkan angin sebagai kabar gembira sebelum (kedatangan) rahmat-Nya? Apakah di samping Allah ada ilah (yang lain)? Maha Tinggi Allah terhadap apa yang mereka persekutukan (dengan-Nya). Atau siapakah yang menciptakan (manusia dari permulaannya), kemudian mengulanginya (lagi), dan siapa (pula) yang memberikan rezki kepadamu dari langit dan bumi Apakah di samping Allah ada ilah (yang lain)?. Katakanlah:"Unjukkanlah bukti kebenarannmu jika kamu orang-orang yang benar". (QS. An-Naml: 59-64)
Allah telah menyampaikan bukti-bukti yang kuat dan mantap tentang keberadaan-Nya, keesaan-Nya. Allah menantang kepada orang-orang yang tidak percaya kepada-Nya untuk mendatangkan dalil yang mendukung keyakinannya. Atau bukti yang memperkuat pengakuannya yang palsu itu.
Ayat-ayat di atas tak syak lagi membicarakan puncak kebebasan berpikir jauh dari keterikatan taklid dan kejumudan. Kebebasan berpikir di sini bukan berarti melepas kendali pandangan kita, sehingga kita berjalan ngawur alias ngelantur dan tenggelam dalam kesesatan dan penyelewengan. Akan tetapi kebebasan berpikir yang dianjurkan Al-Qur'an adalah kebebasan berpikir yang berpegangan pada sinar yang menerangi jalan dan menjelaskan rambu-rambu. Kemudian membiarkan pandangan kita bebas memilih. Ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan mengevaluasi diri dan untuk mengetahui ke arah mana kita akan menuju dan jalan mana yang akan kita tempuh.
Pada metode yang jelas lagi sehat inilah Al-Qur'an mengarahkan pemikiran manusia supaya terhindar dari gelombang fitnah, penyelewengan, kesesatan, jauh dari lembah ketaklidan dan kejumudan serta mengangkatnya ke tempat yang mulia, tempat Allah menampakkan kebenaran dan mencapai pantai keselamatan dengan aman dan damai.
Di atas jalan yang lurus inilah Rasulullah SAW dan para sahabatnya berjalan. Rasulullah sangat menghargai pendapat yang benar dan  melaksanakannya. Rasulullah memberi kelonggaran kepada sahabat yang berjauhan darinya untuk berijtihad dengan aklnya dalam masalah-masalah yang tidak ia dapatkan dalam nash Al-Qur'an atau Sunnah Nabi seraya mengumumkan, "Apabila seorang hakim memutuskan perkara dengan berijtihad lalu benar, maka baginya dua pahala. Apabila ia memutuskan perkara dengan berijtihad lalu salah, maka baginya satu pahala". (HR. Ahmad)
Dalam sebuah hadits disebutkan, Rasulullah mengutus Mu'adz Ibnu Jabal sebagai hakim di Yaman. Nabi bertanya, "Wahai Mu'adz! Dengan apa engkau menghakimi? Muadz menjawab, "Dengan Kitab Allah." "Jika engkau tidak mendapatkan dalam Kitab Allah?" Kata Mu'adz, "Dengan Sunnah Rasulullah". "Dan jika tidak engkau dapatkan dalam sunnah?" Mu'adz menjawab, "Aku berijtihad dengan pendapatku." lalu Nabi menepuk dadanya seraya berkata, "Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik utusan Rasulullah."
Berangkat dari pemikiran yang sehat ini dapat kita katakan bahwa perbedaan mazhab Hanafiyah, Syafi'iyah, Malikiyah dan Hambaliyah hakekatnya melambangkan kebebasan berpikir.
Kaum muslimin tidak statis di hadapan teks Al-Qur'an dan hadits-hadits Nabi kemudian berhenti pada makna lahiriyah tanpa rahasia-rahasianya. Akan tetapi setiap orang muslim mendalami dan menyelaminya sampai ia dapat mengambil dari harta karun yang berharga ini sesuai dengan kemampuannya, dan menyingkap jaraknya yang sangat jauh sesuai dengan kemampuan pandangan mata hatinya.
Sebagai akibat dari perbedaan kemampuan dalam lapangan akal pemikiran dan pandangan mata dan hati, timbullah perbedaan pendapat di kalangan ilmuwan-ilmuwan (ulama) agama, pakar-pakar fiqh dan pemikir Islam. Dan perbedaan pendapat itu tidak mungkin bertentangan dan bertolak belakang, karena berasal dari satu sumber, yaitu Kitab Allah yang tidak dapat dijamah kebatilan dari depan atau dari belakang. Dan Kitab Allah itu selalu mengarahkan kepada satu tujuan, yaitu membuat manusia berbahagia baik secara perseorangan maupun secara kelompok masyarakat. Mengarahkan energi manusia pada hal-hal yang bermakna dan bermanfaat serta menjauhkan manusia dari hukum rimba dan logika taring dan kuku binatang.
Oleh karena itu kaum muslimin berlapang dada terhadap perbedaan yang timbul dari kebebasan berpikir karena perbedaan ini tidak akan melampaui lapangan kebenaran baku yang telah digariskan, tidak akan mengakibatkan lahirnya keburukan dan kerusakan, akan tetapi malah akan mewujudkan keadilan dan kesadaran. Sebab dengan adanya perbedaan ini jalan-jalan menuju keselamatan bertambah banyak, dan bertambah banyak pula pintu-pintu masuk keridhaan Allah dan rahmat-Nya.
Maka seyogyanya kaum muslimin di seluruh tempat dan zaman untuk mengambil petunjuk tata caraa Islam dan prinsip-prinsipnya yang luhur lagi bijaksana. Seharusnya mereka juga belajar dari agamanya bahwa perbedaan pendapat tentang suatu persoalan atau pemikiran tidak sepatutnya menjadi penyebab putus hubungan atau sekat pemisah selama masih ada Kitab Allah SWT berikut Sunnah Rasulullah berada di antara yang sedang kebingungan. Al-Qur'an dan Sunnah itu akan membimbing orang-orang yang sedang kebingungan dan membimbing orang-orang yang sesat menuju jalan kebajikan dan keberuntungan.
Wallahua’lam





Rujukan :
1.     Al-Qur’an
2.     Ar-Risalah Imam Asy-Syafi’i, Tahqiq dan Syarah Syaikh Ahmad Muhammad Syakir, 2008, hal. 521
3.     Belajar Dari Kupu-Kupu, Abi Alfin Yatama Elfikri, 2008, hal. 01

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sobatku... tinggalkan komentarmu sebelum meninggalkan blog ini. Oke...

Bagaimana Tanggapan Anda Tentang Blog Ini?